ARTIKEL PINTASAN

reportase

resensi film

resensi buku

Sunday, May 21, 2017

Vonis Ahok dan Masalah Hukum yang Tak Usai

Newsth.com

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahya Purnama divonis 2 tahun penjara, Selasa 9 Mei 2017. Oleh pengadilan, ia dianggap bersalah karena ucapannya di Pulau Seribu, Jakarta, mengandung muatan penistaan terhadap agama Islam.
Jauh sebelum kasus yang menimpa bekas politisi Gerindra dan Golkar itu, ada filsuf Yunani Sokrates mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Sokrates diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menggagas Tuhan baru di luar Tuhan yang diakui negara Athena pada masa itu.
Dalam proses persidangannya, pengadilan mendapatkan tekanan publik. Tuduhan dan penilaian terhadap Sokrates pun berkembang ke mana-mana. Di antaranya, ia dianggap atheis dan ada pula yang menganggapnya "Tuhan baru".
Di penghujung persidangan, Sokrates akhirnya ditetapkan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Bagi Sokrates, hukuman yang ia terima terasa tidak adil karena tuduhan kepada dirinya tidak terbukti di persidangan. Ia paham bagaimana para penuduh memberi pengaruh terhadap pengambil keputusan. Ia terima keputusan itu sebagai warga Athena yang patuh terhadap hukum.
Selanjutnya ada kasus mirip di dunia seniman musik. Berawal dari ucapan musisi The Beatles, John Lennon. Ia mengatakan "The Beatles lebih populer daripada Yesus." Pernyataan itu dimuat di Evening Standar pada Maret 1966, berdasarkan wawancara jurnalis Inggris berma aMaureen Cleave dengan John Lennon. Empat bulan kemudian, hasil wawancara itu muat kembali di Datebook, Amerika Serikat.
Dari sana muncul kemarahan pemeluk agama Kristen karena menganggap perkataan John Lennon adalah pelecehan terhadap Yesus. Kerusuhan terhadi di mana-mana, di berbagai negara, hingga petinggi Vatikan pun memberi reaksi. Protes keras terhadap John Lennon dan The Beatles dilakukan dengan cara membakar piringan atau kaset The Beatles.
John Lennon tidak dihukum seperti Sokrates. Hanya saja, ia dihukum dengan cara yang lebih keji oleh penggemarnya sendiri, bernama David Chapman. John Lennon dibunuh dengan tembakan pistol oleh Chapman pada 8 Desember 1980. Chapman ternyata diketahui penggemar yang terganggu kejiwaannya. Pembunuhan itu tidak bisa dilepaskan dari kontroversi John Lennon tahun 1966. Setelah diselidiki, selain kejiwaan, Chapman juga merupakan penganut Kristen konservatif.
Sementara di Indonesia ada kasus-kasus penistaan agama sebelum Ahok -panggilan akrab Basuki Tjahya Purnama- dengan pola yang tidak jauh berbeda. Dimulai dari kasus HB Jassin, Arswendo, hingga Lia Eden. Ketiganya adalah kasus yang juga menyita perhatian publik di masanya, tak ubahnya kasus Ahok yang menciptakan demo-demo massa secara rutin.
Dari rentetan kasus ini, ada banyak hal yang dapat jadi dipahami. Pertama, agama sebagai objek hukum akan sulit ditelaah. Hukum menggunakan paradigma positivistik. Dalam cara pandang positivisme, setiap hal harus dibuktikan secara inderawi. Di sinilah letak perbedaan antara ranah agama dan hukum. Tidak semua dimensi keagamaan dapat dibuktikan karena memuat unsur keyakinan (iman) dan wahyu, sementara hukum wajib membuktikan baik terkait tuduhan maupun sangkalan.
Kedua, keberagamaan simbolik. Penistaan sebenarnya masalah yang berawal dari persoalan simbolik. Bermula dari bahasa -sebagai simbol- menjadi di luar kesimbolan. Di mana pun dan sampai kapan pun, akan selalu ada manusia beragama secara simbolik atau menitikberatkan pada simbolismenya, bukan pada hakikat atau subtansinya.
Ketiga, common opinion mempengaruhi keputusan pengadilan. Secara tidak langsung, tuntutan massa dan desakan publik memberi dampak terhadap keputusan pengadil. Hal ini sering terjadi di dalam persidangan yang membawa persoalan atau objek persidangan terkait isu agama.
Dapat simpulkan bahwa vonis Ahok merupakan penanda masalah hukum yang tak pernah usai. Sampai kapan pun hukum tidak dapat mengobjektifkan persoalan keagamaan.

Sunday, April 23, 2017

Mental Masyarakat Pariwisata

foto: techad.co.id


Presiden Joko Widodo sudah lebih dari dua kali melakukan kunjungan ke Sumatera Utara. Kunjungannya terakhir, Presiden menggemakan Danau Toba sebagai objek wisata nasional yang menjadi prioritas pemerintah untuk dipromosikan di luar negeri. Ini artinya, Presiden Jokowi sedang menggalakkan pariwisata Danau Toba berkelas internasional.

Lalu, siapkah kita sebagai masyarakat Sumatera Utara menjadi tuan rumah Danau Toba yang akan dikunjungi ribuan bahkan ratusan ribu wisatawan mancanegara setiap tahunnya? Apa yang perlu dilakukan untuk mendukung pariwisata Danau Toba berkelas internasional ini? Inilah pertanyaan mendasar, yang sifatnya sangat elementer.

Banyak opini yang mengutarakan bahwa infrastruktur di kawasan sekitar Danau Toba belum memadai. Bahkan, salah seorang budayawan, dalam wawancara di stasiun televisi swasta, yang tayang Kamis malam, 22 September 2016, menegaskan bahwa infrastruktur aspek utama yang harus dilakukan pemerintah. Apakah benar infrstruktur sifatnya mendesak untuk mendukung semua itu?

Insfratruktur dalam artian akses, transportasi, dan lingkungan adalah pendukung semata. Infrastruktur tidak mendesak. Justru ada aspek lain yang perlu disoroti dan dibenahi. Bayangkan, suatu objek wisata telah terbangun segala aspek infrastrukturnya. Katakanlah, akses jalannya telah sempurna dalam arti jalan raya mulus. Plang petunjuk bagi wisatawan sudah terpasang di berbagai sudut jalan. Tempat pemungutan retribusi sudah bagus. Pengelola objek wisata secara organisasi telah terbentuk dengan sempurna.

Tak hanya itu, sistem kebersihan dan keamaan sudah ditetapkan. Dapat dikatakan sistem ini merupakan sistem terbaik. Lalu, apakah semua itu berarti jika mental masyarakat di sekitar objek wisata tersebut tidak bermental pelayan?

Mental Pelayan


Jika ingin memajukan pariwisata di suatu tempat, itu artinya harus mampu membuat mental masyarakat sebagai mental pelayan. Mental pelayan adalah mental yang memegang prinsip patuh dan tunduk. Mental pelayan untuk membahagiakan orang yang dihadapinya.

Aspek utama mental pelayan ialah kepercayaan. Selain itu, perlu pula adanya keramahtamahan dan  kejujuran. Kepercayaan sudah lazim memang, di mana pun tempat wisata, kepercayaan pengelola objek wisata dan masyarakat di sekitarnya harus ada. Tanpa ada kepercayaan ini, wisatawan enggan kembali. Bahkan, bukan tidak mungkin wisatawan tersebut membuat citra objek wisata tadi terpuruk karena menceritakannya ke kolega, rekanan, kerabat, hingga sanak saudaranya.

Dalam hal ini, ada dua kisah menarik saat Penulis melakukan kunjungan ke Danau Toba. Tepatnya Oktober 2015. Peristiwa pertama, kala itu, karena tidak ada petunjukan kawasan parkir umum, Penulis parkir mobil di salah satu areal luas di tepian danau Ajibata. Tepat di samping areal tersebut berdiri sebuah warung. Begitu Penulis keluar dari mobil dengan membawa peralatan makan, pemilik warung justru mendatangi Penulis. Ia mengusir, dengan nada dan pilihan kata yang tidak etis. Intinya, ia meminta Penulis parkir di tempat lain.

Peristiwa kedua, terjadi saat Penulis usai mandi di pesisir danau. Salah seorang meminta biaya sewa ban, yang kebetulan dipakai Penulis. Karena orang tersebut merupakan orang yang tadi memberikan ban untuk disewa, maka tanpa pikir panjang Penulis memberinya uang sewa ban sesuai kesepakatan awal. Sayangnya, 15 menit kemudian, orang lain datang, dengan mengaku bahwa dirinya pemilik seluruh ban yang disewakan di area tersebut. Penulis mengatakan bahwa biaya sewa ban sudah diberikan kepada orang yang datang sebelumnya, yang memang menawarkan ban di awal. Namun, orang tersebut bersikeras, dengan nada memaksa, bahwa dirinyalah yang berhak meminta biaya sewa ban.

Dari dua peristiwa di atas itu bisa menjadi acuan bagaimana mental pelayan belum terbentuk. Kedua peristiwa tersebut tentu menjadi pertimbangan Penulis saat merencanakan liburan ke Danau Toba.

Pariwisata Bisnis Jasa

Dunia pariwisata adalah bisnis jasa. Di sanalah, trust menjadi hal penting. Bisnis jasa tanpa rasa kepercayaan tidak akan berjalan dengan baik. Begitu pula dengan aspek kenyamanan dan keramahtamahan.

Dalam bisnis jasa, tidak ada yang ditawarkan produk komoditas yang sifatnya materil. Bisnis wisata hanya menawarkan jasa dan destinasi wisata sebagai objek bisnisnya. Namun, objek ini tentu perlu didukung rasa kepercayaan, sikap ramah, nyaman, dan lainnya. Meski aspek-aspek ini sifatnya pendukung objek bisnis, bukan berarti ini tidak penting. Analoginya sama seperti bisnis produk komoditas. Bukankah dalam menjual produk makanan, misalnya, perlu pengemasan yang baik demi menarik pembeli?

Singkat uraian, Penulis menyarakan perlunya membangun mental masyarakat pariwisata di sekitar Danau Toba. Tanpa mental ini, adalah kesia-siaan menjual wisata Danau Toba hingga ke luar negeri.


*ditulis 2016

Mengurai Potensi Pariwisata Cirebon

tari topeng Cirebon (foto: blogspot.com)


Cirebon adalah salah satu kota terbesar di deretan kota-kota jalur Lintas Utara (Pantura). Sebut saja, mulai dari Jakarta, Bekasi, Cikarang, Semarang, hingga Surabaya. Didukung pula dengan infrastruktur yang sangat baik. Yang tak kalah pentingnya ialah eksotisme tradisi budayanya.

Kondisi seperti itu seharusnya membuat pariwisata Cirebon berkembang. Nyatanya, pariwisata Cirebon kalah jauh dengan pariwisata kabupaten-kabupaten di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Padahal, kalau mau jujur, infrastruktur Yogyakarta tidak sebagus Cirebon. Lihatlah, Yogyakarta tidak memiliki akses tol, tidak ada pelabuhan, dan transportasi angkutan umumnya tidak sebaik Cirebon tentunya.

Berbicara tradisi budaya tidak selalu berbicara tradisi yang terkait seni. Kuliner juga adalah bagian dari tradisi budaya itu. Kuliner atau makanan tradisional merupakan hasil cipta rasa masyarakat terdahulu.

Sangat disayangkan memang, pada akhirnya pembangunan wisata kuliner di berbagai tempat di Cirebon terbilang gagal. Salah satu contoh konkretnya adalah, gagalnya pasar kuliner di Pasar Kanoman. Dari indikator inilah, wajar saja penilaian kemudian muncul, bahwa pariwisata Cirebon masih belum bersuara di dunia pariwisata nasional.

Peluang Pariwisata

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo, infrastruktur terus digenjot. Salah satu targetnya ialah pertumbuhan dan perkembangan pariwisata hingga pelosok-pelosok negeri. Tak ayal, suara optimisme pariwisata nasional terus berdengung. Diperkirakan, tahun 2020 sektor pariwisata menjadi penghasil devisa terbesar secara nasional.

Bak mengikat tali pinggang, Kementerian Pariwisata pun tidak main-main dalam penetapan target. Ada enam target utamanya. Pertama, target 15 persen produk domestik bruto. Kedua, target Rp280 triliun pendapatan devisa. Ketiga, 13 juta kontribusi peningkatan kerja. Keempat, target daya saing pariwisata berada di angka 30. Kelima, target 20 juta wisatawan mencanegara. Keenam, terakhir, target 275 juta perjalanan wisatawan nusantara. Semuanya target untuk tahun 2019.

Bukan tanpa sebab target itu berani ditetapkan. Tren dunia pariwisata dunia saat ini mulai berporos pada negara-negara Asia. Di antara negara-negara Asia lainnya, negara Asean termasuk mengalami pertumbuhan yang cepat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan catatan World Economic Forum Travel and Tourims Competitve Index, tahun 2013, Malaysia berada di peringkat ke-25, Thailand peringkat ke-35, dan Indonesia peringkat ke-50 dari total 141 negara. Rata-rata kenaikannya lebih dari lima peringkat dalam dua tahun.

Perlu dicatat, bahwa indikator semua itu adalah peluang. Dalam 5 tahun mendatang dunia pariwisata akan terus berkembang. Setiap pemerintah daerah perlu mengambil langkah cepat dan tepat untuk meraih peluang tersebut.

Mengapa Cirebon?


Seseorang yang hendak melakukan perjalanan wisata, tentu ia akan bertanya sebelum mengambil keputusan destinasi. "Mengapa saya harus ke sini, mengapa harus ke situ, dan mengapa harus Cirebon?" Begitulah kira-kira pertanyaan dasar untuk mengambil keputusannya.

Jika orang yang akan melakukan wisata itu adalah teman Anda, mampukah Anda menjawab? Jawaban yang mungkin ialah kuliner nasi jamblang dan empal gentong. Kalau tidak itu, ya wisata religi, seperti makam dan bangunan bersejarah. Tapi, apakah itu sudah bisa menjadi daya tarik? Kalau belum, di sinilah letak persoalannya, bahwa pariwisata Cirebon tidak semenarik kabupaten-kabupaten di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Dari situlah, pemerintah harus segera mengencangkan ikat pinggang untuk berbenah. Agar pembenahan berjalan dengan baik, ada 4 rekomendasi untuk pemerintah.

Pertama, ciptakan infrastruktur yang baik. Penciptaan infrastruktur bukan cuma soal ketersediaan jalan. Pemerintah juga harus menciptakan angkutan umum berbasis pariwisata. Bisa saja mengadakan bus pariwisata, salah satunya. Yang tak kalah penting adalah, mengadakan angkutan umum yang menjangkau berbagai destinasi wisata.

Kedua, ciptakan brand image produk pariwisata yang khas. Jika selama ini Cirebon dikenal sebagai destinasi wisata religi, maka pemerintah harus membentuk branding Cirebon berkarakter religius. Sedangkan dalam wisata kuliner, ada nasi jamblang dan empal gentong. Pemerintah pun harus bekerjasama dengan pelaku usaha untuk membangun branding kuliner khas ini dikenal lebih luas lagi.

Yang tak kalah penting, soal branding wisata ini, perlu ketegasan apakah pariwisata Cirebon mau mengedepankan kuliner atau destinasinya. Jika kulinernya, maka ciptakan variasi kuliner khas. Ada begitu banyak santapan nusantara di bumi Cirebon ini yang belum tereksplorasi.

Ketiga, bangun SDM yang mendukung pariwisata. SDM adalah penopang. Ibarat konstruksi rumah, SDM merupakan tembok. Dengan SDM yang baik, pariwisata dapat berkembang dengan baik pula. Pemerintah pun perlu menanamkan kesadaran dan pembelajaran managemen wisata. Selain itu, pemerintah juga wajib menstimulasi masyarakat agar terciptanya ide-ide kreatif berbasis wisata. Di antaranya, kreasi atau pencetusan desa wisata seperti desa-desa wisata di Yogyakarta.

Keempat, dukung penciptaan lingkungan serta tradisi yang ramah dan positif. Dunia pariwisata merupakan segmen ekonomi yang bergerak di bidang jasa. Prinsipnya, harus ada kepercayaan dan kenyamanan. Apa jadinya kalau lingkungan wisata kumuh. Untuk itulah, pemerintah wajib membentuk satgas-satgas kebersihan. Selain itu, perlu pula pemerintah mendukung masyarakat menciptakan tradisi yang ramah dan positif terhadap wisatawan. Inilah modal kepercayaan wisatawan. Tanpa sikap ramah dan positif, wisatawan dipastikan enggan ke Cirebon.

Anomali Dunia Pendidikan di Yogyakarta

foto: kompasiana.com


Ada semacam anomali dalam sektor pendidikan di Yogyakarta. Di satu sisi pertumbuhan dunia kampus memberi dampak nyata bagi perekonomian. Namun di sisi lain, tradisi karya ilmiah masih kalah bersaing.

Beberapa minggu yang lalu, saya sempat berbincang (wawancara) Ketua DPD REI Yogyakarta, Nur Andi Wijayanto. Dia bilang, pertumbuhan dunia properti di Yogyakarta tidak terlepas dari perkembangan dunia kampus. Di mana kampus tumbuh, di sanalah properti mengikuti. Mahasiswa membutuhkan tempat tinggal, sehingga para pengembang menyabet peluang tersebut. Buktinya, rencana keberadaan kampus baru UIN Sunan Kalijaga diikuti perkembangan properti di sekitarnya.

Andi menjelaskan, selain sektor pendidikan, ada sektor pariwisata. Keduanya sama-sama berdampak. Keduanya juga sama-sama berimplikasi terhadap perputaran ekonomi di lingkungannya.
Begitulah statement faktual pelaku pengembang properti di Yogyakarta. Di sini saya tidak membahas utama soal propertinya. Saya ingin menunjukkan, betapa suburnya perkembangan sektor pendidikan di Yogyakarta. Indikator lainnya, rata penambahan jumlah mahasiswa setiap tahunnya naik 10 persen. Itu artinya, ada penambahan drastis jumlah mahasiswa di Yogyakarta setiap tahun.

Di sisi lain, dunia pendidikan belum membanggakan. Buktinya, tradisi karya ilmiah masih belum diunggulkan. Lembaga-lembaga pemeringkatan universitaa di dunia menempatkan Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ini artinya tradisi karya ilmiah, yang menjadi indikator penilaian pemeringkatan, di kampus UGM masih kalah saing dengan UI dan ITB.

Di sinilah letak anomalinya. Dunia pendidikan terus berkembang dari segi kuantitas mahasiswanya tapi di sisi lain tidak diikuti tradisi karya ilmiah. Jika dilihat dari jumlah profesornya memang masih belum memadai. Koordinator Kopertis Wilayah V Yogyakarta, Bambang Supriyadi, pertengahan tahun lalu, mengatakan, jumlah guru besar di Yogyakarta masih 35. Jumlah ini tentu sangat kecil. Bayangkan, menurut data Kemenristekdikti, tahun 2015 saja, jumlah guru besar di Indonesia mencapai 5.000-an. Bisa diprediksi, jumlah guru besar di Yogyakarta tahun ini tidak lebih dari 5 persen jumlah secara nasional.
Padahal, Yogyakarta telah dikenal sebagai Kota Pendidikan. Kata ini menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa dan kampus di Yogyakarta cukup besar. Lagi-lagi, istilah ini menjadi bias ketika kampus di Yogyakarta tidak mampu menjadi nomor 1, dalam skala universitas Tanah Air, di tangga pemeringkatan internasional.

Menumbuhkan Tradisi

Di tingkat atas, seperti kepala lektor dan profesor, pemerintah telah berusaha memberi stimulan agar penulisan karya ilmiah meningkat. Kepala lektor dan profesor diberi tunjangan, agar keduanya mampu menciptakan karya ilmiah tanpa terpikirkan masalah ekonomi. Dengan segala konsekuensinya, upaya tersebut dapat diacungi jempol. Terlepas kemungkinan langkah buruk yg ditempuh.

Pertanyaannya, apakah itu dapat meningkatkan tradisi karya ilmiah di Yogyakarta? Apakah upaya itu berdampak terhadap jumlah karya ilmiah di Yogyakarta? Sulit mengatakan "ya" jika jumlah profesor pun masih kecil.

Bukan tidak mungkin para profesor mengajak para mahasiswanya. Entah itu mengajak untuk bertindak secara aktif maupun pasif. Paling tidak, bisa memberi influenze.

Yang perlu dicermati kemudian ialah langkah para dosen menumbuhkan tradisi karya ilmiah mahasiswanya. Mahasiswa adalah potensi. Jumlahnya banyak. Miris sekali jika mahasiswa, baik strata 1, 2, dan 3, hanya membuat satu atau dua karya ilmiah selama kuliahnya.

Mahasiswa juga tak ubahnya kepala lektor dan profesor. Membutuhkan stimulan. Mahasiswa butuh dana sebagai jaminan survive dari kebutuhan hidupnya. Saya memprediksi, 1 dari 5 mahasiswa terdesak kebutuhan hidupnya. Apalagi, nilai kebutuhan hidup di Yogyakarta semakin tinggi setiap tahunnya. Tentu, caranya, mahasiswa mengambil kerja sampingan untuk menutupi kebutuhannya.

Untuk itu, pemerintah atau pihak pengurus universitas selayaknya membuat kebijakan seperti insentif pemerintah kepada kepala lektor dan profesor. Mahasiswa juga membutuhkan dana, agar tidak terseret pada aktivitas dunia pekerjaan di luar kampusnya. Dengan demikian, mahasiswa dapat fokus menciptakan karya ilmiah. Sejalan itu pula, jumlah karya ilmiah di Yogyakarta dapat bersaing, baik nasional maupun internasional.

Saturday, April 15, 2017

Ikan Lele dan Keberadaan Zakir Naik


Saya punya kolam kecil di depan rumah. Isinya ikan lele. Suatu waktu, saya membeli ikan lele baru di pasar. Hanya dua ekor. Geraknya sangat gesit dan lincah.
Ikan lele baru itu saya masukkan ke dalam kolam. Lalu apa yang terjadi? Ikan-ikan di kolam justru ribut. Gerak riuh. Ke sana ke sini tak jelas juntrungannya. Ada pula beberapa di antaranya yang lompat.
Dari sini dapat dipahami, ketenangan dapat terusik dari kehadiran yang baru. Tatanan dapat terusik karena adanya mahluk yang datang tidak sesuai dengan mahluk yang sudah ada sejak lama. Lele baru itu merusak ketenangan ikan lele saya di kolam.
Setelah memahami itu, saya teringat fenomena Zakir Naik di Indonesia. Ia berceramah ke kota-kota besar. Konon, tujuannya untuk menyampaikan dakwah Islam dalam perspektif ilmu perbandingan agama. Seolah para ulama Indonesia yang berkopeten hal itu tidak ada.
Saya, dan mungkin juga Anda, sudah tahu bahwa ulama-ulama kalangan NU dan Muhammadiyah selama ini menguasai podium-podium umat Islam di Indonesia pada umumnya. Ulama kalangan ini, meski ada yang berbeda, selalu menyampaikan ceramah-ceramah Islam yang kontekstual. Artinya, melihat persoalan sosial agama dari perspektif keberagaman. Baik itu keberagaman sosial kultural maupun keberagaman agamanya. Tidak menyinggung keyakinan umat beragama lain.
Indonesia adalah negara yang dibentuk dari banyak golongan suku, ras, dan agama atau keyakinan. Dari berbagai golongan, pada tahun 1928, Joung Java mengusung konsep persatuan. Tidak terpatri pada satu agama tertentu. Tidak pula terpatri pada satu etnis tertentu. Batas historisitas waktu, bagi kelompok tersebut, tidak jadi soal. Tidak mempermasalahkan siapa lebih dahulu menginjak bumi Nusantara. Yang ada, konsep kekinian yang terbentuk atas kesamaan penderitaan untuk mencapai cita-cita bersama. Cita-cita bersatunya umat antargolongan itu untuk menciptakan negara yang aman, damai, dan sejahtera.
Dari ide persatuan itu kemudian diwujudkan dasar nilai filosofis negara, yakni Pancasila. Pancasila bukan rumusan kalkulasi apalagi rumus matematis. Pancasila bukan cuma susunan bahasa secara sistematis atau EYD belaka. Ada nilai adiluhung yang terkandung di dalamnya. Ada nilai cita-cita, nilai historis, nilai etis, nilai religius, hingga nilai sosial budaya. Maka, menganggap pancasila sebagai rumusan yang salah di dalam konteks ke-Indonesiaan adalah pemikiran yang ahistoris dan tidak proyektif.
Pancasila tidak mengunggulkan satu agama. Pancasila tidak menyalahkan agama yang lain atau berbeda. Pancasila dibentuk dan untuk keberagaman agama. Begitulah mengapa kata yang mewakilinya ialah "tunggal ika", dan bukan "tunggal eka."
//
Saya tidak mengerti apakah Zakir Naik dapat digolongkan sebagai ustaz atau bukan. Mungkin, jika sekadar ustaz secara harfiah masih dapat diterima. Ia sebagai guru, yang berarti guru bagi siapa pun. Guru yang tidak memiliki kompetensi khusus karena tidak bergelut pada keilmuan tersebut selama puluhan tahun atau lebih. Namun, jika konsep ustaz dipahami sebagai orang yang layak mengajarkan Islam, dengan pengalaman durasi yang cukup panjang, tentu masih bersifat debateble.
Zakir Naik bukanlah ulama yang lahir dari dunia pesantren. Bukan pula sesosok yang dibesarkan dari orangtua ulama kondang. Ia pun menempuh pendidikan kedokteran, sarjana dokter (medis) dari University of Mumbai, India. Tahun 1991 ia baru memfokuskan diri sebagai penceramah agama. Artinya, pergulatannya dalam bidang ilmu Islam tidak lebih luas dibandingkan ulama-ulama kompeten di Tanah Air, seperti Quraish Shihab, Buya Syafii, dan lainnya.

Dalam ceramahnya, Zakir Naik memperdebatkan hal ihwal perbedaan Islam dengan agama lainnya, khususnya Kristen dan Yahudi. Ada begitu banyak ulasan inkonsistensi, kengawuran logika, hingga klaim surga dan neraka Zakir Naik. Hampir semua ulasan itu membuktikan bahwa Zakir Naik hanyalah retoris ulung yang tidak patuh pada logika dan tidak filosofis dalam membandingkan agama satu dengan agama lainnya. 
Zakir mengklaim, agamanya adalah agama yang benar, dibandingkan agama lainnya. Ia tak menyentuh agama secara ontologis, secara universal, dan sejenisnya.
Sudah banyak media-media online di Tanah Air yang mengulas keanehan berpikir Zakir Naik. Saya tak perlu membidaninya lagi di sini. Bagi saya, keberadaannya di Indonesia tak layak. Kunjungannya mengancam ketenteraman beragama saya dengan saudara saya yang berbeda agamanya. Tak ubahnya fenomena ikan lele di awal tulisan ini.

Friday, January 27, 2017

Ilham Korban Mapala Unisi di Mata Keluarga


Ilham Nur Padmi Listiadi merupakan satu dari tiga korban kekerasan Mapala UII. Ilham dinyatakan tewas di RS Bethesda, Kota Yogyakarta, Senin (23/1) tengah malam, setelah dirawat beberapa hari.
Syafii, bapak Ilham, menyayangkan peristiwa yang dialami anaknya tersebut. Di mata Syafii, Ilham merupakan anak yang penurut. "Baik, penurut sama orangtua," katanya di RS Bethesda, Kota Yogyakarta, Selasa (24/1).
Ilham merupakan anak terakhir Syafii dan Syafaah. Ilham memiliki tiga orang kakak. Ilham juga tergolong rajin beribadah. Di kehidupan keluarganya, mahasiswa Fakultas Hukum UII itu dikenal telah lama menyukai dunia anak gunung. Permintaan izin mendaki gunung menjadi hal yang biasa dilakukan Ilham.
Namun nahas, ketika izin mengikuti kegiatan great camp untuk tanggal 14 hingga 22 Januari, Ilham diketahui pulang dengan kondisi yang tidak baik. Ia diketahui terjatuh di kamar mandi kosnya setelah pulang dari kegiatan di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Ia pun trpaksa dirawat di RS Bethesda, hingga akhirnya dinyatakan tewas. "Di tangannya itu babak belur. Di tangan kiri sampai pundaknya itu memar. Di bagian kepala, ada beberapa yang luka," papar Syafii kepada wartawan.
Ilham merupakan mahasiswa aktif Fakultas Hukum UII. Kini ia telah memasuki jenjang pendidikan semester IV. Ia termasuk mahasiswa perantau di Yogyakarta. Ilham berasal dari Rapi Gubuk Barat, Desa Pringgasela, NTB.
Seperti diketahui, peristiwa kekerasan Mapala UII ini menewaskan tiga orang mahasiswa. Selain Ilham, dua mahasiswa lainnya ialah Fadil dan Syaits Bahkan, beberapa mahasiswa lainnya yang diduga mengalami kekerasan juga dirawat di RS JIH Kota Yogyakarta.

Orang-Orang Miskin di Balik Pesona Pantai Gunungkidul





Baru saja Polres Gunungkidul merilis jumlah kasus bunuh diri di wilayah kerjanya. Ada 22 orang yang menewaskan diri sendiri. Jumlah ini terhitung dari Januari hingga Juli 2016 ini. Bukan tidak mungkin jumlah akan bertambah bila dihitung hingga akhir tahun nanti. Bisa melebihi jumlah kasus bunuh diri tertinggi, tahun 2012, yang mencapai 40 kasus.
Ini bukan Jepang. Ini Kabupaten Gunungkidul, salah satu wilayah yang dipimpin Raja Keraton Yogyakarta. Di Jepang, tradisi yang telah lama turun-temurun, bunuh diri adalah harga diri yang tinggi nilainya. Bermula dari kegagalan, orang Jepang yang menebusnya dengan bunuh diri seakan "membayar" nilai kegagalan tersebut. Bunuh diri bagi mereka melunasi buruknya nilai kegagalan. Di sanalah, nilai bunuh diri dianggap terhormat dan tinggi nilainya di lingkup sosial.
Masyarakat Gunungkidul bukan masyarakat Jepang. Banyak data versi berbagai lembaga yang mungkin bisa menegaskan hal ini. Bila menelusuri bumi bagian timur Yogyakarta, akan begitu banyak terekam kemiskinan yang nyata.

//
Pagi itu, 4 November tahun lalu, 2015, cuaca tampak cerah. Matahari menyirami tanah. Mungkin menembus pori-pori tanah. Semua tanah tampak kering. Apalagi dedaunan, jangan ditanya.
Papan ucapan selamat datang di Pantai Baron melenyapkan kegersangan itu. Meski panas matahari tak mungkin dilawan, setidaknya apa yang dipandang mata bisa menyegarkan. Air lautnya sangat biru. Di sisi kiri tebing menjulang. Di sisi kanan juga berdiri tebing. Deru ombaknya beringas. Sementara di bibir-bibir pantai banyak sampan berlabuh. "Pengunjung dilarang mandi di pantai," begitu tulisan papan peringatan di tepi pantai.
Tebing sisi kanannya sangat terjal. Sedangkan tebing sisi kiri ada jalan setapak. Naik ke tebing ini bayar Rp2.000 per orang. Sesampainya di atas tebing, semua objek di tepi pantainya dapat dilihat dengan kedua bola mata. Dari kejauhan juga tampak tebing-tebing curam lainnya. Satu dua terlihat kapal nelayan di lautan luas. Deras ombaknya menyegarkan, setidaknya menyelimuti dari panas terik.
Masih di tebing, berjalan sedikit ke arah kiri, berdiri kokoh sebuah mercu suar. Tak jauh dari bangunan mercu suar tersebut, tapak pondasi bangunan masih basah. Menurut pedagang setempat, pondasi bangunan itu merupakan bagian pembangunan villa atau tempat penginapan. Sungguh, kelak, saat bangunan jadi, villa ini pasti memiliki daya tarik alam pantai yang menggiurkan. Seperti apa yang sedikit dipaparkan tadi.

//
Satu jam setengah cukup untuk menikmati Pantai Baron. Perjalanan dilanjutkan ke pantai-pantai Gunungkidul lainnya. Hanya dengan tiket Rp10.000, pengunjung bisa menikmati puluhan pantai.
"Di sini cuma Rp10.000 per orang, Mas. Tapi harga segitu udah untuk semua pantai," kata petugas retribusi tiket pantai di Gunungkidul.
Tepat di sebelah Pantai Baron ada Pantai Krakal, Pantai Kukup, Pantai Ngrawe, Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Sanglen, Pantai Nglolang, Pantai Pondok Rangon, Pantai Pewedan Ciut, Pantai Watu Kodok, Pantai Sadranan, dan Pantai Sarangan. Ini semua berada di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul. Dapat dibayangkan, hanya satu kecamatan, ada 13 pantai. Pantai-pantai ini tak jauh berbeda dengan Pantai Baron. Namun, hanya Pantai Baron yang menjadi dermaga sampan para nelayan. Selebihnya, benar-benar objek wisata.
Belum lagi pantai-pantai di kecamatan lainnya, seperti Kecamatan Tepus, Kecamatan Purwosari, Kecamatan Panggang, Kecamatan Saptosari, dan Kecamatan Girisubo. Lebih dari 60 pantai ada di sepanjang pesisir Gunungkidul.
Bahkan, di antara puluhan pantai, masih ada beberapa pantai "perawan". Salah satunya pantai di Kecamatan Girisubo, Pantai Jungwok.

//
Tidak seperti pintu masuk Pantai Baron, Pantai Njungwok tak berplang nama. Di jalan menuju lokasi pantainya hanya ada petunjuk arah. Jalannya pun belum beraspal. Hanya tanah dengan tumpukan batu. Belum ada warung khusus wisatawan, kecuali warung dadakan dari warga sekitar.
Pantainya benar-benar "perawan". Binatang laut masih mudah ditemukan di pesisir pantai. Ada ubur-ubur. Berbagai jenis keong dan kerang laut. Rumput laut. Ada pula landak laut yang tampak sesekali di balik bebatuan.
Sekira 10 meter dari bibir pantai, tebing seperti candi berdiri gagah. Tingginya sekira 5 meter. Untuk menuju tebing tersebut, pengunjung harus berjalan di pantai dengan ketinggian air sekitar 1 meter. Dengan dasar pantainya menuju tebing tersebut berserakan bebatuan. Ombaknya sesekali terbelah oleh tebing.
"Di sini ada paket nyelam, Mas. Lokasinya gak jauh dari pantai. Harganya, nego aja sama instrukturnya. Soalnya di sini sepi wisatawan, jadi harga bisa dinego," kata Yanto, juru parkir dadakan di Pantai Jungwok

//
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Matahari mulai menyelip di balik langit ufuk barat. Waktunya harus kembali ke Kota Yogyakarta.
Dari Pantai Njungwok ke Kota Yogyakarta memakan waktu sekitar 3 jam. Tak masalah, yang penting semua terbayar dengan keindahan pantai setelah menyusuri pantai dari Baron hingga di sini, Pantai Njungwok.
Mesin sepeda motor sudah menyala. Saat berangkat, meninggalkan pantai. Jalanan sudah mulai redup dari matahari. Apalagi harus melewati kebun-kebun yang tampak siang tadi terlihat tandus. Kebun-kebun itu kini ditinggalkan si empunya. Sesekali mata melihat si empu kebun berjalan di waktu senja. Dengan memikul bakul. Entah apa isinya. Entah apa yang mereka garap.
Dari awal meninggalkan pantai, banyak si empu kebun merupakan orang tua. Nenek-nenek dan kakek-kakek. Suatu waktu, berpapasan dengan seorang nenek. Saat itu sepeda motor sengaja melambat, melihat seseorang yang sudah tua berjalan di tengah jalanan nan sepi. Di waktu hampir maghrib.
Pakaiannya kusam. Tak bersandal. Bakulnya berukuran sebahu hingga pinggangnya. Saat disapa, ia membalas dengan senyuman dan berkata, "Monggo, Mas."

Sunday, January 22, 2017

Meneropong Para Penulis di Cirebon

Rencana pembangunan kampus negeri ternama di Kabupaten Cirebon membawa angin segar. Setidaknya, akan semakin berkembanglah tradisi kepenulisan di Kota Wali ini.
Setahu saya, mungkin Anda juga tahu, bahwa tradisi kepenulisan di Cirebon (kota dan kabupaten) masih jauh dari kata “meriah” alias masih minim. Indikatornya mudah saja, penulis asal Cirebon atau penulis yang berbasis di Cirebon masih bisa dihitung jari.
Lihag saja penulis-penulis muda di koran-koran lokal, seperti Radar Cirebon ini. Nama-nama penulisnya sering itu-itu saja. Belum pagi soal penulis bukunya, ya makin itu-itu saja.
Siapa yang tak bangga bila Cirebon punya ulama seproduktif Kyai Husein Muhammad? Tapi sayangnya, penulis muda tak muncul seperti produktivitasnya pendiri lembaga Fahmina itu.
Yang saya tahu, ada penulis muda asal Cirebon, M Khoirul. Meski belum bisa disetarakan dengan produktivitas Kyai Husein, paling tidak ada harapan bahwa masih ada secercah cahaya di balik cuaca yang mendung.
Di Cirebon memang banyak kampus-kampus dengan jumlah peminatnya yang tinggi. Sebut saja dua di antaranya Unswaganti dan IAIN Cirebon. Pertanyaannya, di mana suara pena mahasiswa kampus ternama di Cirebon itu? Mengapa yang muncul pun hanya para dosennya saja?
Harapan atas minimnya kemunculan penulis inilah yang menjadi tumpuan “cita-cita” pembangunan kampus di Kabupaten Cirebon, yang direncanakan dibangun di Kecamatan Talun. Saya dan Anda mungkin akan berpikir yang sama, kampus negeri ternama  itu nantinya melahirkan mahasiswa-mahasiswa atau alumni yang produktif. Muncul gagasan dan pikirannya di koran-koran lokal dan nasional. Mungkin juga muncul di rak-rak utama toko buku.

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan Dedi Ahimsa, penulis asal Kuningan, bersama Jay Ali Muhammad, penyair asal Sumber, Kabupaten Cirebon. Ia mengkhawatirkan ihwal minimnya kelompok penulis sastra di Cirebon dan Kuningan. Biasanya, lewat kelompok-kelompok seperti itulah muncul penulis-penulis muda berbakat.
Di kancah nasional, saya dan Anda kelimpungan bila diminta menyebutkan satu per satu penulis-penulis yang lahir dari Forum Lingkar Pena (FLP). Sebelas tiga belas dengan Komunitas Salihara dan sebagainya. Mereka, yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya di dalam tulisan ini, memadati dunia perbukuan dan tulis menulis di koran nasional.
Dari Cirebon, contoh nyata itu ada pada diri Aris Kurniawan, penulis cerpen kekinian. Namanya beberapa kali muncul di kolom cerpen koran nasional, di antaranya Media Indonesia. Sepengatahuan saya, ia mendapat giroh (semangat) menulis saat berkegiagan di komunitas yang dikelola penyair Wowok.
Lagi-lagi saya katakan, dan tak saya pungkiri, banyak memang komunitas sastra dan komunitas kepenulisan di kampus Unswagati dan kampus IAIN Cirebon. Tetapi, nama mereka sepertinya cuma cukup muncul di kolom sastra koran-koran lokal.

Mengapa berharap kepenulisan pada mahasiswa? Secara akademis, mahasiswa dituntut sadar dan paham dunia tulis menulis. Bagaimana tidak, mereka harus mampu menulis skripsi, tesis, dan disertasi agar mampu lulus. Menjadi masalah bila mahasiswa lulus dengan skill (kemampuan) menulis nol. Pasti jadi pertanyaan besar, bagaimana bisa seseorang lulus sarjana tanpa kemampuan menulis?
Kemampuan menulis  bukan milik mahasiswa sosial belaka. Mahasiswa bidang eksakta, sosial, atau apa pun itu, selama menempuh pendidikan formal tingkat perguruan tinggi, hukumnya wajib memiliki kemampuan menulis.
Di sisi lain memang, mereka yang berada di luar pendidikan formal, bukan berarti tidak mampu memiliki kemampuan menulis. Toh banyak penulis-penulis besar di Tanah Air ini yang besar di luar pendidikan formal tingkat perguruan tinggi.  Bahkan, sama sekali tidak menyentuhnya. Sebut saja, salah satunya, Pramoedya Ananta Toer. Sementara di Cirebon ada Aris Kurniawan, yang sudah disebut di atas.
Di antara pendidikan formal, dalam hal ini perguruan tinggi, dan dunia di luar pendidikan formal, tentu saya, Anda, atau kita, wajar menumpukan harapan tumbuhnya penulis-penulis muda dari lingkaran kampus. Karena itulah, berdirinya kampus negeri di Kecamatan Talun kelak diharapkan mampu menumbuhkan tradisi menulis di Cirebon.



Monday, October 10, 2016

Wisata #BatikIndonesia di Yogyakarta

Ada dua hal yang muncul di benak ketika mendengar nama Yogyakarta. Pertama, Yogyakarta kota pendidikan. Kedua, Yogyakarta kota wisata. Disebut kota pendidikan lantaran Yogyakarta memiliki kampus-kampus ternama, dengan mengorbitkan tokoh-tokoh nasionalnya.
Yang kedua, kota wisata, baru muncul belakangan ini setelah dikenal kota pendidikan lebih dahulu. Disebut kota wisata lantaran program pemerintah meningkatkan ekonomi Yogyakarta melalui potensi kebudayaan dan objek wisatanya.
Dalam dunia pariwisata nasional, Yogyakarta menempati urutan kedua sebagai destinasi wisata utama setelah Bali. Panorama alamnya menawan. Sebut saja objek wisata di sepanjang pantai selatan Gunungkidul. Belum lagi perbukitan dan Gunung Merapinya.
Budayanya eksotis. Peninggalan sejarahnya bertabur di berbagai tempat, seperti candi dan museum. Hasil kerajinan tangan tradisinya masih hidup. Sebut saja, satu-satunya yang masih terjaga ialah batik.
Batik adalah produk kerajinan asli Yogyakarta. Berbagai literatur menyatakan, batik lahr di tengah-tengah kerajaan Mataram. Bahkan ada pula yang menyatakan batik telah lahir sejak era Majapahit. Mana pun versi yang valid, yang jels dua kerajaan tersebut ada di Yogyakarta. Tak salah bila mengakui batik sebagai peninggalan tradisi leluhur Jawa Yogyakarta.
Nilai filosofis motif batik menguatkan anggapan tersebut. Salah satu motif batik yang terkenal ialah motif parang. Motif ini ditafsirkan sebagai penyatuan jiwa manusia Jawa Yogyakarta dahulu dengan pantai selatan. Lekukan motifnya menunjukkan pola perbukitan di tepian pantai. Lihat, bagaimana perbukitan atau tebing di sepanjang pantai selatan Gunungkidul begitu luasnya.
Batik khas Yogyakarta pun berkembang. Dari satu desa ke desa lainnya. Dari satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya. Hingga saat ini, berkembang dari satu showroom batik ke showroom batik lainnya. Tak salah bila menjadikan Yogyakart sebagai destinasi wisata batik.
Berbicara desa wisata di Yogyakarta tak akan ada habisnya. Sejak 2012, jumlah desa wisata terus bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Yogyakarta, jumlah desa wisata pada tahun 2014 hanya 80. Setahun kemudian, jumlahnya menjadi 112 desa wisata.
Kampung Prawirotaman adalah kampung wisata yang sukses karena batiknya. Awalnya, Kampung Prawirotaman hanyalah kampung biasa yang dimiliki keturunan sang empu keluarga Prawirotomo, setelah mendapat hibah dari keluarga Keraton. Sekira tahun 50-an hingga 60-an, keluarga Prawirotomo memgembangkan batik cap. Usahanya berkembang, hingga mencapai kejayaan di awal tahun 70-an. Ibarat puisi Chairil Anwar, sekali berarti setelah itu mati. Begitulah Kampung Prawirotaman, mulai bergeser dari kampung industri batik cap ke industri jasa penginapan. Namun, peralihan itu tidak menghilangkan keberadaan batik. Terbukti, hingga saat ini toko dan showroom batik di Kampung Prawirotaman masih bertahan.
Dua daya tarik utama dari sejumlah desa wisata hanya mengeksplorasi keindahan alam desa dan kerajinan tangan. Lagi lagi, batik menjadi andalannya. Dua desa wisata yang mengandalkan kerajinan batik sebagai daya tarik utamanya ialah Desa Wisata Wukirsari dan Desa Wisata Krebet. Dua-duanya berada di Kabupaten Bantul. Dua-duanya pun menyajikan paket belajar batik dan showroom batik. Dalam paket itu, wisatawan diajak praktik membuat batik dengan peralatan yang masih tradisional.
Tak hanya itu, desa wisata lainnya pun seakan tak ingin ketinggalan. Paket batik dimasukkan menjadi salah satu paket andalannya. Salah satunya ialah di Desa Wisata Tembi. Di desa wisata ini, bila menikmati wisata di Tembi Rumah Budaya, wisatawan diajarkan membuat batik yang baik dan benar. Tentunya bukan batik cap, melainkan batik tulis. Pengelolanya sengaja mendatangkan pengrajin batik bila adanya pesanan paket dari sejumlah wisatawan.
Dari hampir seluruh desa wisata yang menawarkan batik, hampir seluruhnya pula menyuguhkan belanja batik. Wisatawan bisa belajar sekaligus belanja batik. Harganya pun tak begitu mahal, dengan kualitas batik yang dapat dikatakan berkualitas.
Di sisi lain, bila kemahalan, masih ada tempat-tempat berbelanja batik dengan harga miring. Tempat yang sangat terkenal ialah Pasar Beringharjo. Di sini wisatawan dapat berburu berbagai jenis batik. Bukan hanya batik khas Yogyakarta, melainkan juga batik Pekalongan, batik Solo, batik Cirebon, hingga batik khas daerah Indonesia timur. Harganya, mulai dari Rp15.000 hingga ratusan ribu.
Tak ada alasan memang mengabaikan Yogyakarta tanpa batik. Begitulah panjangnya alasan mengapa Yogyakarta layak dikukuhkan sebagai pusat perkembanganbatik dan pusat wisata batik.



Membumikan #BatikIndonesia

Salah satu desa wisata batik di Yogyakarta (Foto: Fredy WP)
Tak banyak pilihan membeli pakaian produk lokal bernuansa tradisi. Bisa dikatakan, lebih dari setengah produk pakaian di pasaran (toko dan ritel pakaian) bernuansa nontradisi. Artinya, pakaian di pasaran didominasi produk bercorak nonlokal.

Satu-satu produk pakaian bercorak lokal yang mampu menyaingi produk nonlokal itu semua adalah batik. Sebut saja kemeja batik, kaos batik, hingga jenis pakaian wanita batik. Di saat hendak membeli pakaian di toko-toko, ada beragam ketersediaan batik. Mulai dari toko modern hingga tradisional.

Harapan itu ada pada batik. Tentu berharap agar batik mampu menjadi produk yang membumi. Artinya, batik tidak sebatas produk milik suatu daerah saja, Yogyakarta misalnya. Batik harus menjadi pilihan bersama masyarakat Indonesia. Membumikan batik berarti menciptakan banyaknya kesempatan untuk dimiliki masyarakat tanpa batas.

Tahun 2009, Pemerintah menerbitkan Kepres Nomor 33 Tahun 2009. Kepres ini menandakan dimulainya Hari Batik Nasional, yang jatuh setiap tanggal 2 Oktober. Hal ini menunjukkan Pemerintah pun berusaha membumikan batik di tingkat nasional.

Usaha lainnya, usaha diplomasi meloloskan batik sebagai khazanah budaya Indonesia yang diakui dunia. Usaha ini pun akhirnya menuai hasil. Badan PBB yang menaungi kebudayaan, UNESCO, akhirnya mengukuhkan batik sebagai warisan tradisi Indonesia.

Satu hal penting mengapa batik perlu dibumikan. Motif atau corak batiknya mengandung nilai filosofis adiluhung. Inilah sebabnya batik penting dibumikan. Membumikan batik berarti membumikan nilai filosofis nenek moyang sendiri.

Batik merupakan warisan budaya nenek moyang Indonesia. Diduga, batik ada sejak sebelum abad ke-18, di era Majapahit. Lantas, mulai meluas di era Mataram Islam. Kala itu batik menjadi pakaian para penghuni kerajaan Mataram, khususnya keluarga raja. Karena sering digunakan penghuni kerajaan, masyarakat sekitarnya pun tertarik untuk ikut menggunakan pakaian serupa.

Selanjutnya, batik berkembang di sekitar Pulau Jawa bagian tengah. Di antaranya Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Namun, semakin meluasnya peminat batik, pada abad awal 20 telah tersebar ke daerah lain dengan kekhasan corak motif masing-masing.

Awal perkembangannya, struktur utama motif-motif batik didominasi dengan motif tanaman, binatang, dan alam. Tentu motif-motif tersebut bukan tanpa maksud dan tujuan. Apa yang ditampilkan dalam motif batik itu ingin menunjukkan keserasian hidup manusia dengan alam sekitarnya. Inilah nilai filosofisnya, bahwa manusia Jawa pada masa itu dekat dengan alamnya.

Seiring berkembangnya batik, motif-motifnya berkembang. Dengan mengedepankan nilai keindahannya, motif batik kemudian menjadi abstrak. Namun, bentuk abstrak itu tidak meninggalkan corak dasarnya.

Dari uraian itu semua, tentu memilih pakaian batik di antara pakaian lainnya menjadi penting. Memilih batik berarti memilih jalan hidup serasi dengan alam di sekitar. Inilah pesan nenek moyang untuk anak cucunya.



Thursday, March 10, 2016

Lalulintas di Kota Cirebon

Saya orang baru di Kota Cirebon. Ketika pertama kali membawa motor, sekira bulan Agustus 2015, saya hampir saja dimaki-maki sopir angkot. Ceritanya, ketika itu saya berhenti di perempatan Ciremai-Kesambi. Lampu sedang merah. Mata tentu saja tertuju pada lampu merah, berharap lekas berganti hijau.
Lampu berganti, menjadi hijau. Saya, dan tentu saja pengendara motor dan mobil yang searah, mulai menggas motor. Maju perlahan.
Kebetulan, dari sekian motor dan mobil yang mengantre lampu merah itu, saya berada paling depan. Persis di garis zebracross. Saat lampu hijau, saya jugalah yang memimpin laju kendaraan yang mengantre ketika itu. Belum jauh melaju, tepatnya persis di tengah-tengah perempatan, sebuah angkot melintas berlawanan arah. Saya dari arah Kesambi menuju RS Ciremai, sedang angkot dari Ciremai menuju Jalan Pengeran Drajat.
Melihat angkot melintas dari arah yang berlawanan, saya memasang badan untuk memberi sinyal kemarahan. Badan dan tangan saya memberi aba-aba. Seolah ingin memarahi sopir angkot. Sopir angkot merespon. Suara gasnya dikencangkan, seolah memberi tanda kemarahan.
Beruntung, peristiwa itu tak berlanjut. Sekira dua hari kemudian, saya melintasi beberapa persimpangan di Kota Cirebon. Saya malah menemukan situasi seperti peristiwa kemarahan saya terhadap angkot di persimpangan RS Ciremai-Kesambi. Aneh, dua arah berlawanan di persimpangan malah bertanda lampu hijau. Saya baru sadar, bahwa peristiwa dengan angkot itu sayalah yang salah. Sebagai pendatang, saya baru pahami pola persimpangan empat di kota ini.

Gagalnya One Way
Berdasarkan cerita sana-sini, termasuk menelusuri pemberitaan media koran yang terbit tengah tahun ini, 2015, Kota Cirebon gagal terapkan one way di Jalan Kartini. Entah apa kendala utamanya. Namun, salah satu media daring (online) khusus portal Cirebon menyatakan, gagalnya one way lantaran terjadi penumpukan truk di salah satu ruas jalan.
Sebenarnya tidak sesederhana itu. Lantas, mengapa jalur one way di Ibukota Jakarta dapat diterapkan? Padahal Jakarta merupakan kota terpadat lalu lintas. Jakarta dikenal sebagai kota terparah lalulintasnya untuk skala Asia Tenggara, mungkin juga dunia.
Tak cuma Jakarta sebagai dasar pembantahannya. Coba tengok Pasar Kanoman. Beberapa kali saya melintas di Pasar Kanoman masih saja ada pengendara yang melawan arus meski one way sudah diterapkan beberapa bulan yang lalu. Kawasan yang digadang-gadang bakal jadi pusat kuliner Kota Cirebon ini lalulintasnya belum rapi. Padahal penataan sudah berjalan sebulan lebih.

Menjaga Energi Kita

Menjaga Energi Kita

Di jalanan yang cukup sepi, seorang pria mendorong motor. Di belakangnya, seorang wanita menggendong anak. Jarak antara pria dan wanita itu seperti suami istri. Saya, yang kebetulan berpapasan melihat, menghampiri keduanya. Saya bertanya, ada apa dengan motor yang dituntun.
"Kehabisan bensin, Mas," jawabnya dengan tegas dan sopan. Saya menawarkan bantuan, bagaimana supaya motornya sampai di SPBU terdekat. Dia menolak secara halus, "Sudah dekat. Ada bensin eceren kok, Mas. Matur nuwun, Mas," katanya santai.
Indonesia ibarat motor itu. Bayangkan, tanpa energi kita tidak bisa berbuat apa-apa atau kita akan bergantung pada negara lain. Tak ubahnya bantuan yang saya tawarkan itu, negara lain dengan motif ekonominya tentu senang sekali menawarkan bantuan kepada kita.

Krisis Energi?
Sedikit provokatif memang subjudul ini. Tapi inilah faktanya, poduksi energi kita mulai mengkhawatirkan bila angka produkai saat ini disandingkan dengan angka kebutuhan komsumsinya. Misalnya, salah satu sektornya, bahan bakar minyak (BBM), angka kebutuhannya sangat besar dibandingkan angka produksi. Bayangkan, tahun 2014, produksi BBM hanya 792 barel per hari. Sementara kebutuhan konsumsinya mencapai 1,9 juta barel.
Berdasarkan catatan Outlook Energi 2014, konsumsi energi meningkat 4,1 persen tiap tahun. Dengan mengonsumsi energi sebesar 117 juta TOE, kita menjadi negara konsumen energi terbesar di Asia Tenggara.
Rumah tangga, kendaraan bermesin, dan industri merupakan tiga sektor penyumbang tingginya angka konsumsi energi di dalam negeri ini. Setiap tahunnya pertumbuhan manusia di negara kita tak terbendung. Laju penjualan kendaraan, seperti motor dan mobil, rata-rata di atas 10 persen setiap tahunnya. Industri apalagi, akan terus berkembang seiring pertumbuhan manusianya.
Sebenarnya, krisis energi ini terjadi pada energi yang bersumber dari bahan fosil. Dengan kemampuan eksplorasi dan ketersediaan cadangan seperti saat ini, krisis energi di negara kita bukan tidak mustahil akan segera terjadi. Hal ini sedikit debateble memang sifatnya. Ada pihak yang menyatakan bahwa krisis energi telah terjadi. Ada pihak lainnya yang menyatakan bahwa kita masih berada di ambang krisis atau menuju tahap krisis, yang berarti belum mengalami krisis.
Dalam satu kesempatan di seminar publik, Menteri Sudirman Said mengutip hasil pengamatan Profesor Soebroto. Ia menyatakan krisis energi sedang mengancam negeri kita. Dalam kurun 12 tahun ke depan, cadangan minyak akan habis. Namun, Sudirman menjelaskan, ancaman krisis bukan berarti cadangan minyak telah habis dan harapan untuk memproduksi sendiri telah punah.
Di sisi lain, bukan berarti kita tidak memiliki sumber energi lain. Bukan berarti sumber energi di negeri kita sama di ambang batas kepunahan. Pandangan itu salah. Negara kita masih memiliki alam yang luas, dengan potensi energinya yang sangat berlimpah. Tentu, satu sumber energi yang berlimpah itu ialah energi terbarukan atau sumber energi alternatif.

Tata Kelola
Tata kelola adalah satu aspek yang harus dilakukan dengan baik. Kalau tidak, apa jadinya bangsa kita? Pasti tak terbayangkan satu negara tanpa energi. Ibarat pengguna motor tadi, mana mungkin motor nyala tanpa bensi (BBM).
Masalahnya, tata kelola energi belum mengoptimalkan potensi energi yang ada di dalam negeri. Banyak fakta untuk membuktikan hal ini.
Pertama, tidak maksimalnya regulasi yang mengatur produksi migas di dalam negeri. Potensi minyak bumi, misalnya, masih jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksinya. Kilang-kilangnya belum memadai untuk memproduksi dan eksplorasi minyak bumi di dalam negeri. Wajar saja bila kita masih impor minyak bumi. Padahal, melalui regulasi tata kelola produksi minyak di dalam negeri, negeri kita bisa menekan angka impor atau bahkan bisa saja mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Kedua, tidak adanya regulasi yang menekan penjualan kendaraan bermesin. Di dalam Outlook Energi 2014 dituliskan, konsumsi energi dalam sektor kendaraan bermesin merupakan konsumsi terbesar. Padahal, bila penjualan motor dan mobil pribadi bisa ditekan, bukan tidak mungkin angka konsumsi dapat diminimalisasi. Hal ini akan mendukung bagaimana angka produksi migas di dalam negeri dapat tercukupi melalui produksi migas kita sendiri.
Ketiga, regulasi tata kelola energi terbarukan belum mendukung realisasi produksi dan konsumsi. Lihat saja, berbagai data mencatat, konsumsi energi terbesar di negeri kita masih didominasi energi fosil. Di sisi lain, bukannya miskin potensi energi terbarukan, justru bahan-bahan untuk menciptakan energi terbarukan di negeri kita sangat melimpah.
Regulasi-regulasi itu menjaga energi negeri kita sendiri. Ya, mau tidak mau, untuk membuat mandiri dalam energi, negeri kita harus merealisasikan regulasi-regulasi tersebut.
Ibarat pengendara sepeda motor tadi, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan BBM sepeda motornya kalau bukan dia sendiri? Begitu pula kita, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan energi kalau bukan kita sendiri? Kita tentu tidak ingin negeri ini mogok seperti motor yang mogok di tengah jalan.



Tulisan ini dibuat untuk mengikuti salah satu lomba menulis.
 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes